Kenyataan hari ini, setiap kita bicara tentang kejayaan masa lalu, maka kita kerap kali menjadi Nar-cissus, yaitu, “seorang muda dalam mitologi Yunani yang terpukau, mengagumi, bahkan mencintai gambarnya sendiri yang memantul di air”.
Ada kecenderungan, terbit sikap Narsistik; kita kagum dan memuji diri sendiri, terkesima pada potret diri yang memantul di air dan tiba-tiba menjadi lebih indah dari aslinya.
Lalu kita pun berbicara tentang saham akbar yang kita persembahkan dalam sejarah; Yaitu kita sebagai organisasi yang selalu berada di garis terdepan dalam melaksanakan dan mengawal proses kaderisasi di tubuh NU. Barangkali memang benar, IPNU pernah menjelma menjadi kelompok sosial yang diuntungkan oleh situasi dan sejarah untuk berada dalam posisi kunci sebagai penyuplai kader di berbagai bidang. Ketika kaum pelajar NU hanya memiliki sedikit informasi, ketika kaum santri NU sebagian besar terbenam dalam pertanyaan tentang apa yang terjadi di sekelilingnya. Ketika itu, IPNU merupakan kelompok perdana yang berdialog intens dengan ide-ide peradaban modern.
Enam puluh satu tahun sudah perjalanan IPNU dan tercatat tujuh belas kali berkongres. Banyak lembaran-lembaran sejarah di sana yang mencatat peranan IPNU dengan tinta emas. Misalnya, komitmen kita terhadap Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, konsistensi kita dalam menanamkan nilai-nilai Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah Annahdliyyah pada segmentasi pelajar dan santri yang tentunya akan menentukan perwajahan NU dimasa depan. Sebagai organisasi kekaderan yang mengemban mandat melakukan pembinaan dan pemberdayaan pelajar santri NU. Sebagai satu-satunya organisasi kepelajaran yang eksis sampai tingkat komisariat dan ranting yang secara nyata mendorong pembaharuan dan cara pandang yang lebih maju bagi kaum santri. Sebagai organisasi yang menjunjung tinggi, nilai-nilai luhur tradisi Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah Annahdliyyah.
Tapi zaman terus bergerak dan masyarakat terus tumbuh, perubahan telah menyentuh setiap sisi kehidupan, strukturnya semakin rumit dan kompoisinya kian majemuk.
Tak terhindarkan, IPNU sebagai komunitas dengan sejumlah umat yang cukup besar, tidak akan bisa mengisolasi diri dan menghindar dari perubahan-perubahan yang telah mendunia dan menyentuh semua sisi kehidupan. Zaman jelas berubah, berarti posisi dan peran bisa berubah. IPNU kini punya tugas sejarah baru, merumuskan peran baru dalam realitas baru dalam kompleksitas persoalan kekinian. Dan itu memang tak terhindarkan, tanpa itu, maka kepemimpinan IPNU sekarang ini, harus siap sebagai generasi yang gagal. Dan tanpa itu, maka IPNU cenderung menjadi Narcissus baru.
Kita tak cukup dengan cerita tokoh ternama, pemimpin yang beken dan alumni dengan kiprah spektakuler. Jika macam itu dan masa lampau yang kita kenang, barangkali sejarah IPNU cukup selesai dengan serangkaian riwayat hidup atau lakon sebagian orang-orang besar dan ternama.
Bagai cerita wayang. Di panggung hanya nampak para raja dan sederet kerabatnya. Unsur lain hanya diwakili oleh Dewa dan Punakawan. Kita pun lupa bahwa perang Bharata Yudha adalah perang yang besar, yang melibatkan ribuan manusia; buruh, tani, pemuda dan pegawai. Tidak cuma keluarga Bharata!
Agaknya kita juga cenderung dongeng para raja, hingga kita pun lupa, bahwa IPNU melibatkan ribuan bahkan jutaan anggota. Tak heran kalau ada yang kemudian percaya bahwa perjuangan IPNU adalah cuma perjuangan kaum elite dan intelektualnya saja, sedangkan anggota cuma ikut-ikutan.
Seorang cerdik pandai pernah berkata, “sejarah IPNU adalah sejarah umat manusia yang konkrit. Kalau ada yang mau menulisnya tentu akan merupakan sejarah banyak orang. Ia akan merupakan sejarah harapan, pergulatan, pengabdian, penderitaan dan kebanggaan manusia”. Ia pun menunjukkan bahwa perjuangan IPNU di masa silam bukan cuma sukses para pemimpinnya saja.
Enam puluh satu tahun, sekarang ini, biarlah kita kian dekat dengan kenyataan itu. Tutuplah buku catatan, lihatlah cermin; di sana, di sana dan di sana kepada mereka anggota-anggota yang berada di komisariat sekolah, pesantren dan ranting yang mengerti tentang ketentraman hati. Lihatlah sejarah mereka, sejarah harapan, pergulatan, penderitaan, pengabdian dan sekaligus kebanggaan.
Anggota bukan segumpal batu, bukan juga sesuatu tanpa bekas, karena memang sejarah IPNU adalah sejarah umat manusia yang nyata. Kalau kita tidak mau menjadi Narcissus baru.
Oleh : (Asmoez)
Posting Komentar